Rabu, 13 Februari 2013

SAHABATKU PANJI

Kisah ini dimaulai ketika aku duduk di bangku sekolah menengah pertama, tepatnya ketika aku menjadi murid kelas VII E di SMP Pasundan Rancaekek. Dulu aku adalah orang yang sulit bergaul dengan teman sebayaku dikarenakan aku adalah siswa pemalu dan suka menyendiri, ketika itu upacara bendera sedang berlangsung, saatnya guru memanggil satu persatu murid berdasarkan kelas yang akan mereka tempati sekaligus menjadi anak didiknya dikelas, kebetulan yang membacakan saat itu giliran bu Indriani. Bu Indriani menurutku adalah guru yang paling baik se-SMP Pasundan saat itu, selain dari tutur katanya yang sopan dia sangat mengerti dengan karakter murid-murid yang diajarnya.
Peri Heriyanto...” tegas bu Indriani saat menyebutkan namaku ketika mengabsen setiap murid yang diwalikannya, aku cukup merasa tegang menghampirinya lalu berdiri dengan siswa-siswa lainnya yang kelak mereka semua akan menjadi teman satu kelasku. Awalnya aku merasa bingung melihat tampang dari murid-murid lainnya yang seolah-olah kurang bersahabat.



 “Nah anak-anak, mari ikut ibu keruangan yang menjadi kelas kita” ujar bu Indriani saat membimbing aku dan murid-murid lainnya untuk memasuki kelas yang diperuntukan bagi kami.

Ternyata arah yang dituju adalah ruangan VII E, saat itulah seluruh anak-anak memasuki ruangan itu secara serentak dan langsung menempati kursi kosong yang ada di ruangan itu.

Aku merasa bingung harus duduk di bangku yang mana, karena saat itu seluruh bangku hampir semuanya terisi oleh murid lain. Tiba-tiba pandanganku langsung mengarah kepada bangku kosong yang berada di pojok ruang kelas, ternyata disamping bangku itu telah duduk seorang siswa yang menurut pandangan pertamaku dia adalah seorang yang culun, dengan bentuk rambut yang bergaya orang tua tahun 80’an, pakaian yang sedikit kusut, tas yang apa adanya membuatku merasa berfikir dua kali untuk menjadi teman sebangku dengannya.
boleh saya duduk disini?” ucapku menanyakan perihal bangku kosong yang ada disampingnya.
“boleh, silahkan. Gak ada yang menempatinya kok”  ujarnya.
Lalu aku duduk di bangku yang ada disampingnya. Waktu terus berlalu tanpa ada kata-kata diantara kami berdua, lalu aku terhenyak dari diamku ketika dia melontarkan pertanyaan.
boleh kenalan gak, namaku Panji?“ ucapnya sambil menjulurkan tangan disertai senyum tipis dari wajahnya.
boleh, namaku Peri “ dari sanalah aku mengetahui bahwa namanya adalah Panji.
Seiring waktu berlalu aku dan panji makin akrab di kelas, selain ternyata dia itu pandai bergaul, dia juga memiliki otak yang pintar, berbeda sekali dari persepsiku ketika bertemu pertama kali dengannya rasa curiga dan keraguanku padanya sedikit demi sedikit menghilang dan akhirnya kami menjadi sahabat.
Aku manjalani hariku sebagai murid kelas VII E bahkan terpilih sebagai ketua murid atau KM sedangkan panji menjadi wakilnya, saat pelajaran mulai ke arah yang lebih kompleks dan salah seorang guru mewajibkan seluruh murid untuk membeli LKS (lembar kerja siswa) sebagai syarat dalam mengerjakan tugas yang diberikannya kepada anak-anak dikelas. Pada saat itu aku mengetahui sisi lain dari sahabatku Panji, dibalik sosoknya yang pintar, mudah bergaul dan disenangi anak-anak, dia merupakan siswa yang kurang mampu dalam segi finansial atau keuangan, sehingga dalam pembayaran LKS nya pun tersendat-sendat.
Setelah aku mengkorek-korek informasi dari teman-teman se-SD-nya dulu ternyata Panji memang anak yang kurang mampu, menurut teman-temannya dulu, ayah panji adalah seorang pengemudi becak dan ibunya hanya berdagang makanan kecil di samping SD-nya dulu.
Sungguh sangat miris hatiku saat melihat kenyataan ketika aku sengaja pergi ke rumah Panji didampingi oleh temanku yang bernama Rudi -yang dulunya merupakan teman SD Panji-. Rumahnya adalah sebuah rumah pangnggung reot dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu serta disekeliling rumahnya terdapat hamparan tanah merah, tidak ada sedikitpun semen atau batu yang menutupinya. Pikirku, mungkin disekitar rumah Panji sering terkena banjir melihat kondisi tanah yang ada dirumahnya dan sebuah sungai berada tepat disamping rumahnya.
Ketika aku memaksakan diriku untuk berkunjung kerumahnya, tampak seorang pria paruh baya sedang mengotak-atik sebuah becak tua di halaman rumah Panji. Lau aku mulai mendekatinya seraya bertanya,
“Pak, apakah benar ini rumah Panji?” tanyaku.
“Oh benar, De.. Ade ini temannya Panji?” beliau balik bertanya.
“Iya, Pak “ jawabku dengan lugas.
Setelah itu kami berbincang-bincang di halaman rumah sambil membicarakan keseharian Panji dan bagaimana prestasinya disekolah. Dari perbincangan itulah baru aku menyadari bahwa kehidupan yang dialami panji memang cukup keras. Ayahnya hanya seorang tukang becak dan ibunya membantu perekonomian keluarga dengan cara berjualan gorengan dan makanan kecil di pinggir sekolah dasar.
Setelah berbincang panjang lebar dengan ayah Panji akhirnya aku memutuskan untuk pamit dan kembali kerumah dengan Rudi. Aku berpikir kembali, di zaman modern ini rupanya masih ada kasus yang seperti Panji alami, aku sangat bersyukur mempunyai teman seperti Panji karena ditengah keterbatasannya dia masih bisa mengukir prestasi di sekolahnya.
Keesokan harinya aku menceritakan kejadian kemarin kepada Panji, tampak dari raut wajahnya dia tersipu malu saat mendengar cerita kunjunganku ke rumahnya. Setelah itu kami berdua berusaha mencari jalan keluar dalam menyelesaikan masalah pembayaran LKS Panji yang belum lunas. Disaat kami sedang berfikir, tiba-tiba ide tersebut terlontar dari mulut Rudi yang sejak kemarin menemaniku pergi berkunjung kerumah Panji.
“Bagaimana kalau kamu berjualan gorengan di sekolah seperti ibu kamu Ji? Kan lumayan dari hasil keuntungannya bisa menutupi pembayaran LKS sekolah ?” ujar Rudi.
Boleh juga tuh Rud. Tapi apa Panji tidak keberatan?” tuturku.
Oh, iya sih, itu ide yang bagus. Nanti aku bicarakan dulu dengan ibuku..”  jawab Panji.

Beberapa hari kemudian tampak Panji membawa sebuah keranjang kecil berisi macam-macam gorengan seperti pastel, keroket, cireng, gehu, bala-bala, pisang aroma dll. Nampaknya dia sudah bertekad bulat demi membantu keluarganya agar tidak terbebani dengan biaya pendidikannya dia berjualan macam-macam gorengan ke kelas-kelas di SMP Pasundan setiap pagi hari dan sewaktu jam istirahat.
Dagangan Panji sangat laris, biasanya pada saat jam istirahat selesai, gorengan yang dijajakan Panji pun sudah habis terjual. Tidak hanya siswa saja yang menjadi pembeli setia Panji, akan tetapi para gurupun juga sering memebeli gorengan panji. Disamping harganya yang murah, gorengan yang dijual Panji pun sangat enak. Para guru pun tidak sungkan menyampaikan pujian kepada panji karena dia begitu gigih dan semangat dalam meneruskan sekolah. Nampaknya keuntungan dari penjualan gorengan itupun dapat menutupi tunggakan LKS nya dan selebihnya dia menyerahkan kembali sisa keuntungannya tersebut kepada ibunya.
Panji pernah mengungkapkan kepadaku bahwa dia bercita-cita ingin menjadi guru biologi, oleh karena itu pada setiap menjalankan tugas praktek biologi, dia tampak antusias sekali dalam melakukannya. Suatu waktu kami mendapat kesempatan sebagai satu kelompok dalam percobaan pembedahan ikan dan katak dalam rangka meneliti organ dalam amfibi dan pisces. Pada saat berlangsungnya proses pembedahan, ada satu hal yang sangat menarik yang sampai saat ini tidak terlupakan dalam ingatan kami, yaitu ketika kodok tersebut tiba-tiba melompat ke arah muka Panji dengan sendirinya, hal ini mungkin dikarnakan pembiusan oleh alkohol yang kurang sempurna. Sontak hal ini membuat kelompok kami kaget dan tertawa terbahak-bahak.
Sisi lain yang saya temukan dari sahabatku Panji adalah selain dia adalah seorang anak yang berbakti kepada orang tua dia juga anak yang ramah pada tetangga. Para warga yang ada dirumahnya sangat senang kepadanya karena keuletan dan sikap rajin yang dimiliki oleh panji. Terkadang ada warga yang meminta jasa panji untuk mengembalakan ternak kambingnya dan menyuruh untuk merawatnya, nantinya apabila kambing tersebut terjual atau mempunyai anak, keuntungannya akan dibagi dua dengan Panji.
Kegiatan menggembala kambing sering dilakukannya ketika pulang sekolah. Tidak seperti anak-anak seusia panji lainnya yang menghabiskan waktu sepulang sekolahnya diisi dengan bermain dan menghamburkan uang. Lain halnya dengan panji, dia malah membantu warga menggembalakan ternaknya dan sesekali dia membuka-buka buku pelajaran untuk mengulang pelajaran yang telah diberikan guru disekola atau sambil mengerjakan PR. Hal ini dilakukannya untuk mencari biaya tambahan untuk sekolahnya.
Panji merupakan anak sulung dari dua bersaudara, adiknya bernama Siti yang pada waktu itu berumur 7 tahun. Siti duduk dibangku kelas 2 SD. Seperti halnya kakaknya dalam hal sekolah Siti harus berjuang keras dalam memperjuangkan pendidikan. Kondisi sekolah siti saat itu sangat jauh dengan rumahnya, hal ini mengharuskan panji mengatntarkan siti pergi sekolah dengan menggunakan sepeda sehingga terkadang panji datang terlambat ketika masuk sekolah.
Ketika kami duduk di kelas 2 SMP kami sering berkumpul bersama di warung bu Rini, disana kami membentuk sebuah grup yang sama-sama menyukai olah raga bola voli. Grup ini terdiri dari aku, Panji, Dian, Yana, Yadi, dan Dedi. Masing masing mempunyai karakter dan sifat yang berbeda. Aku orangnya kalem dan menjadi penyeimbang dan penengah bila terjadi perselisihan diantara kami, panji orangnya jujur, sopan santun, ramah, dan setia kepada kawannya. Dian adalah anggota yang paling kecil diantara kami berlima akan tetapi dia orangnya bersifat humoris dan menjadi penghibur di saat kita berkumpul bersama, Yana dan Yadi adalah anak kembar kakak-beradik yang bisa dibilang anggota paling kaya diantara kami. Sedangkan dedi merupakan pemimpin kami, selain dia mempunyai tampang yang cukup tampan dia memiliki sikfat bijaksana dan berwibawa.
Kami berenam merupakan squad inti tim bola voli kelas kami, saat itu sedang berlangsung kegiatan PORAK (Pekan Olah Raga Antar Kelas) yang dintaranya mempertandingkan olah raga bola voli yang diikuti oleh setiap kelas dari mulai kelas VII sampai kelas IX. Setelah berjuang dengan keras akhirnya kami bisa meraih tropi juara hal ini dikarenakan berbagai karakter yang ada dalam diri kami sangat mendukung terciptanya tim yang solid.
Banyak intrik dan masalah yang menyelimuti kami pada saat pertandingan berlangsung, seperti rusaknya sepatu Panji akibat ketidak mampuannya membeli sepatu baru, kesombongan yana dan yadi dikarenakan tabiatnya yang memang orang kaya, ketidak seriusan dian karena terlalu banyak bercanda, aku yang terlalu nyantai dan menganggap sepele sesuatu dan dedi yang bersikap otoriter dalam memimpin. Akan tetapi hal itu bukan menjadi masalah yang berarti bagi kami asalkan kami selalu kompak, bekerjasama dan menghilangkan sikap egois yang ada dalam diri kami.
Kesetiakawanan dan saling pengertian merupakan hal yang mutlak ada dalam kelompok kami dan semua yang pernah kami jalani sangat berpengaruh pada kehidupan kami saat ini dan menjadi pelajaran yang berharga. Hal ini bisa dilihat dari sosok panji yang dulunya adalah anak kampung yang serba kekurangan dalam hal ekonomi mampu bangkit dan memperoleh beasiswa baik di SMP, SMA sampai tingkat perguruan tinggi.
Sekarang Panji sedang menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Biologi dan meraih beasiswa sampai lulus.[]

Title: SAHABATKU PANJI; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar