Minggu, 31 Maret 2013

Hak Jawab, Hak Tolak, dan Hak Koreksi



Hak Jawab, Hak Tolak, dan Hak Koreksi

Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.

Menyingkap kebenaran adalah visi utama yang harus dipikul oleh seorang wartawan. Sayangnya tidak semua orang ingin kebenaran diungkap ke permukaan. Seringkali orang-orang yang “anti kebenaran” ini melakukan tindak intimidasi kepada wartawan yang bersangkutan. Intimidasi tersebut bisa berupa teror, kriminalisasi, maupun premanisme terhadap wartawan.

Berangkat dari kenyataan itu, Rod Lurie membuat film bertajuk Nothing but The Truth. Film berdurasi 108 menit ini berkisah tentang intimidasi terhadap wartawan Sun Times, Rachel Amstrong (Kate Beckinsale). Rachel Amstrong adalah wartawan politik yang teguh memegang kode etik jurnalisme. Suatu ketika ia nekat mengungkap identitas agen CIA terkait dengan skandal percobaan pembunuhan presiden AS di Venezuela. Keteguhan Rachel untuk merahasiakan identitas informan yang ia mintai keterangan perihal usaha percobaan pembunuhan tersebut rupanya berbuntut panjang. Rachel terpaksa mendekam di balik jeruji penjara selama bertahun-tahun karena terus tutup mulut. Bahkan ketika pengadilan mendesaknya membongkar identitas sang informan sekalipun. Kehidupan rumah tangga Rachel pun terancam hancur.

Siapa sebenarnya yang patut disalahkan dalam kasus ini? Rachel Amstrong yang memegang teguh kode etik jurnalisme, Editor Rachel di Sun Times yang secara intelektual bertanggungjawab pada naskah berita yang dimuat di medianya, atau pengadilan yang bersikeras membuka tabir kasus?

Sebenarnya permasalahan semacam ini tak perlu terjadi jika semua orang memahami dan menghormati hak-hak dan kode etik jurnalisme, bahwa setiap wartawan berhak merahasiakan identitas narasumber/ informannya di depan publik. Di Indonesia, hal ini sudah diatur sedemikian rupa dan dikukuhkan dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999.

Setidaknya ada tiga anasir penting yang bisa dipakai sebagai titik tolak dalam kasus di atas, yakni apa yang disebut dengan hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi:

1. Hak Tolak: hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

2. Hak jawab: seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

3. Hak koreksi: hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Sebaliknya pers pun berkewajiban untuk mengoreksi informasi jika terbukti ada unsur kekeliruan di dalamnya.

Meskipun ketentuan tentang hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi sudah dirangkum dalam UU, bukan berarti dunia jurnalisme Indonesia bersih tanpa cacat. Sebagai contoh, kasus yang menimpa wartawan Tempo, Bersihar Lubis, yang dituduh melakukan pencemaran nama baik kejaksaan agung. Pun dengan kasus penahanan pimpinan media harian Kompas karena memberitakan hasil rekaman penyadapan Anggodo oleh KPK beberapa waktu silam. Andreas Harsono mengatakan, langkah pemidanaan wartawan bukan solusi. Jika ada yang tidak berkenan terhadap isi pemberitaan, keberatan selaiknya dibalas dengan tulisan pula. Masyarakat toh punya hak jawab. Demikian halnya, wartawan dengan hak tolak dan hak koreksinya. Kalau masyarakatnya tak bisa menulis bagaimana? Di Amerika Serikat, maksimal kegeraman ini dijadikan perkara perdata. Silakan menggugat!

Intinya, hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi digagas dan dirangkum dalam UU bukan untuk membatasi gerak wartawan, merugikan objek pemberitaan (baca: masyarakat), atau memburamkan kebenaran dari sebuah informasi yang terpapar. Sebaliknya, ketentuan tersebut dibuat agar hak-hak semua warga masyarakat, termasuk di dalamnya wartawan, terpelihara dengan baik. Yang jelas, kebenaran tetap harus disampaikan sebagai kebenaran.

Title: Hak Jawab, Hak Tolak, dan Hak Koreksi; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

1 komentar: