BAB I
PENDAHULUAN
Jatuhnya presiden soekarno dari tampuk kepemimpinan nasional, membuat jenderal soeharto mulai memegang kendali pemerintahan dan masa tersebut disebut sebagai masa orde baru. Dimasa ini konsentrasi penyelenggaraan pemerintah negara menitik beratkan kepada aspek stabilitas politik dalam rangka pembangunan nasional, maka dilakukanlah pembenahan-pembenahan sistem ketatanegaraan dan format politik dengan menonjolkan hal-hal berupa:
a. Konsep Dwi Fungsi ABRI digunakan sebagai Platform politik orde baru.
b. Pengutamaan golongan karya.
c. Magnifansi kekuasaan ditangan eksekutif.
d. Diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
e. Kebijakan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan konsep masa mengembang.
f. Kontrol arbriter atas kehidupan pers.
Kebijakan orde baru mendukung sepenuhnya pers pancasila untuk berperan kembali dalam masyarakat untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang sebelumnya dibungkam oleh soekarno (masa orde lama). Pada awal orde baru pers aktif mengamankan dan membantu pemerintah dalam menertibkan gejolak serta peristiwa yang ada dalam masyarakat, baik dalam lingkup politik maupun dalam lingkup kemasyarakatan dari sisa-sisa dari antagonisme pada masa orde lama.
Proses perkembangan dan peranan pers nasional kemudian dibentuk suatu undang-undang yang mengatur keberadaan dan peranan pers nasional. Tujuan utama dari undang-undang tentang ketentuan pokok pers untuk memberikan jaminan hukum/ kedudukan hukum pers agar dapat menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya dan dapat melaksanakan tugas kewajibannya, serta dapat menggunakan hak-haknya untuk terwujudnya pers nasional yakni pers pancasila.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas pemerintah dalam membina pertumbuhan dan perkembangan pers adalah :
1. Tap MPR no 11/ 1983 tentang GBHN.
2. UU no 11/1996 jis UU no 4 tahun 1907.
3. Peraturan pemerintah sebagai peraturan organiknya dari undang-undang pokok pers tersebut.
4. Beberapa peraturan dari mentri penerangan.
Tahun 1998 gerakan reformasi berhasil menggulingkan rezim orde baru. Keberhasilan gerakan ini melahirkan peraturan perundang-undangan sebagai pengganti peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari nilai-nilai pancasila. UU no 40 tahun 1999 lebeh memberi kewenangan kontrol antara lain terletak pada pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa “dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk dewan pers yang independen”. Adapun pasal 17 menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin memperoleh hak atas informasi yang diperlukan, kegiatan tersebut berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Dan melakukan usulan dan saran kepada dewan pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Pemaparan substansi UUD 1945 memberikan implikasi atas peran pers dalam konteks demokrasi. Pers diartikan sebagai bagian (sub-sistem) dari sistem yang lebih besar yaitu sistem komunikasi. Sistem komunikasi dapat dilihat sebagai bagian atau subsistem dari sistem yang lebih besar yaitu sistem masyarakat yang dilayaninya. Suatu sistem komunikasi sebenarnya terkandung dalam setiap sistem masyarakat. Pada umumnya orang melihat sistem pers dikaitkan dengan bentuk sistem sosialnya, dan selalu dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang ada atau bentuk negara dimana sistem pers itu berada.
Berdasarkan uraian diatas, maka tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis kebebasan pers di indonesia pada masa orde baru dan era reformasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pers
Pengertian pers dibatasi pada pengertian sempit dan pengertian luas, seperti dikemukakan oleh oemar seno adji, pers dalam arti sempit seperti diketahui mengandung penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan ataupun berita-berita dengan jalan kata tertulis. Sebaliknya, pers dalam arti luas memasukan di dalamnya semua media yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan kata-kata lisan.
Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yang pertama merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua pers sebagai lembaga masyarakat dan juga sistem politik. Sebagai medium komunikasi, pers harus sanggup hidup bersama-sama dan berdampingan dengan lembaga-lembaga lainnya dalam suatu kserasian. Dalam hal ini, sifat hubungan antara satu sama lainnya tidak akan luput dari landasan falsafah dan ideologi yang dianut oleh masyarakatnya dan juga struktur dan sistem politik yang berlaku.
Adapun pengertian pers menurut pasal 1 ayat (1) undang-undang no 40 tahun1999 tentang pers adalah sebagai berikut :
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia”.
B. Sistem Pers Dan Kebebasan Pers
Menurut W.J.S Poerwadaminta sistem adalah sekelompok bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud. Apabila salah satu rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya, maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi, atau setidak-tidaknya sistem yang telah terwujud akan mendapat gangguan.
Ciri sistem adalah berorientasi pada tujuandengan perilakunya atau segala kegiatannya bertujuan. Secara umum tujuan sistem adalah menciptakan atau mencapai sesuatu yang berharga, sesuatu yang mempunyai nilai (value). Pada umumnya orang melihat suatu sistem (pers) itu dikaitkan dengan bentuk sosialnya, dan selalu dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang ada atau bentuk negara dimana sistem pers berada dan beroperasi. Setelah perang dunia II berakhir dan kemudian memasuki perang dingin antara barat dan timur, Fred. S Siebert, Theodore Peterson, Wilbur Schramm tampil dengan empat macam teori persnya untuk menjelaskan perkembangan kondisi di dunia. Keempat teori pers yang dikemukakan oleh Fred S. Siebert dan kawan-kawan itu terdiri dari :
1. Teori Pers Otoritarian
Menurut teori ini negara dianggap sebagai ekspresi tertinggi dari organisasi kelompok manusia, mengungguli masyarakat dan individu. Negara merupakan hal terpenting dalam pengembangan manusia seutuhnya. Di dalam dan melalui negaralah manusia mencapai tujuannya sehingga tanpa negara manusia tetap menjadi manusia primitif. Hubungan antara pers dan negara saat teori ini lahir ada dalam kerangka yang demikian itu. Perinsip-perinsip utama teori ini adalah media selamanya harus tunduk pada penguasa yang ada.
2. Teori Pers Libertarian
Kalau ada teori pers otoriter tekanan diberikan kepada negara, maka pada teori pers liberal beralih kepada individu dan masyarakat yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran tentang demokrasi. Dalam pmikiran yang demikian itu, fungsi utama masyarakat adalah untuk memajukan kepentingan anggotanya sehingga faham ini membagikan posisi negara sebagai ekspresi manusia yang tertinggi.
3. Teori Pers Tanggung jawab Sosial
Teori tanggung jawab sosial berdasarkan pandangannya kepada suatu prinsip bahwa kemerdekaan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokokyang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern dewasa ini. Disini prinsip kemerdekaan itu masih dipertahankan dengan penambahan tugas dan beban bahwa kemerdekaan yang dimiliki harus disertai kewajiban-kewajiban sebagai tanggung jawab.
4. Teori Pers Komunis (Marxist, Totaliter)
Teori ini bertolak pangkal dari ajaran Karl Marx tentang perubahan sosial. Menurut teori komunis, pers sepenuhnya merupakan alat negara. Konsekuensinya, pers harus tundauk kepada pemerintah. Pers tidak lebih dari alat partai komunis yang berkuasa, media harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan pemerintah. Ciri-ciri teori ini dapat dirinci sebagai berikut : media berada dibawah pengendalian kelas pekerja, karena itu melayani kepentingan kelas tersebut, media tidak dimiliki oleh pribadi, masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti masyarakat.
C. Sistem Pers Dan Kebebasan Di Masa Orde Baru
Di indonesia masalah kemerdekaan atau kebebasan pers adalah apakah sudah sesuai dengan konstitusi serta undang-undang yang berkaitan dengan fungsi dan peranan pers dalam kehidupan demokrasi, halini sangat penting dirumuskan mengingat pengalaman selama ini, hampir setiap sistem politik menyebut dirinya demokratis dan menjamin adanya kebebasan pers, tetapi dalam prekteknya otoriter dan mengganggu pers. Pada rezim orde lama, misalnya dengan kembalinya indonesia memakai Undang-Undang Dasar 1945 dan menggunakan sistem politik pmerintahan presidensil pada tahun 1956 sampai tahun 1966 yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Demokrasi yang seharusnya tanpa embel-embel, diubah menjadi terpimpin atau dipimpin oleh seseorang, sedangkan kemerdekaan pers yang seharusnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, justru dikebiri.
Begitu halnya dengan orde baru, pada mulanya memang mengiming-iming terjadinya kemerdekaan pers dengan dikeluarkannya undang-undang pokok pers nomor 11 tahun 1966. Undang-undang ini sebetulnya hanya sebatas cek kosong yang kalau dipraktikan tidak sesuai dengan yang tertulis. Dalam konsideran undang-undang ini disebutkan bahwa pers harus mencerminkan kehidupan demokrasi, karena itu, berbagai ketentuan yang berkaitan dengan ketentuan pers, misalnya, penpres no 6 tahun 1963 tentang pembinaan pers dicabut.
Undang-undang no 11 tahun 1966 ini kemudian diganti dengan undang-undang no 21 tahun 1982, tentang SIUPP, tetapi yang terjadi secara substansial tidak ada perubahan. Kontrol pemerintah terhadap pers melalui keharusan mendapatkan surat izin terbit makin kuat. Bagi yang tidak punya izin, tidak boleh menerbitkan pers. Selain terjadi pembatasan-pembatasan yang dikaitkan dengan kepentingan pemerintah juga cenderung melahirkan praktik korupsi, karena permintaan terhadap surat izin begitu banyak, tetapi mendapatkannya begitu sulit.
D. Sistem Pers Dan Kebebasan Di Masa Reformasi.
Berakhirnya pemerintahan presiden soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 telah membawa indonesia pada pusaran tuntutan perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum salah satu yang berembus demikian kuat sejak mei 1998. Begitu halnya dalam bidang politik hukum termasuk dalam bidang kemerdekaan pers.
DPR yang menyetujui pencabutan UU nomor 21 tahun 1982 melalui UU nomor 40 tahun 1982 melalui UU no 40 tahun 1999 merupakan produk hukum yang dibuat legislatif hasil pemilu yang dibuat sangat demokratis. Dalam konteks UU no 40 tahun 1999, hukum merupakan variabel yang berpengaruh, kemudian konfiguraasi politik sebagai variabel terpengaruh.
Produk hukum pada era reformasi tentang pers ini dapat dikatakan sebagai sapu jagatnya kemerdekaan pers di indonesia, setelah sekitar dua puluh delapan tahun didera pembelengguan oleh rezim orde baru. Dikatakan sebagai sapu jagat karena undang-undang ini menghapus ketentuan represif yang pernah berlaku pada era orde baru.
Selain mengahapus berbagai kendala tersebut diatas, UU no 40 tahun 1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut;
1. pasal 2 UU no 40 tahun 1999 berisi ; “kemerdekaan pers merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”.
2. pasal 4 ayat (1) UU no 40 tahun 1999 berisi ; “Kemerdekaaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dan dalam rangka menegakan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa”.
BAB III
KESIMPULAN
Pada masa orde baru (1966-1998) pemerintahan menitikberatkan pada aspek stabilitas politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Regulasi mengenai pers diatur dengan Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, kemudian diganti oleh undang-undang no 4 tahun 1967, kemudian diganti kembali menjadi undang-undang no 21 tahun 1982 dan juga peraturan mentri penerangan no 1 tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang menghasilkan sistem pers yang otoriter yang berkeduk sistem pers pancasila yaitu sistem pers yang otoriter, maka kebebasan pers sangat dikekang yaitu dengan cara dibreidel (pembatalan SIUUP) serta menjebloskan ke penjara mereka yang dainggap anti pemerintah.
Sedangkan di era Reformasi (1998-sekarang), tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu yang berembus sedemikian kuat sejak mei 1998. Begitu pula halnya dalam bidang politik hukum termasuk kebebasan pers. Dalam keadaan ini lahirlah undang-undang no 40 tahun 1999 tentan pers yang dibuat oleh legislatif hasil pemilu yang dinilai sangat demokratis. Berdasarkan undang-undang no 40 tahun 1999 tentang pers menjurus ke sistem liberal yaitu dengan adanya eforia kebebasan yang kebablasan karena tidak ada lagi ktentuan regulasi yang represif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar