Kisah
ini dimaulai ketika aku duduk di bangku sekolah menengah pertama, tepatnya
ketika aku menjadi murid kelas VII E di SMP Pasundan Rancaekek. Dulu aku adalah
orang yang sulit bergaul dengan teman sebayaku dikarenakan aku adalah siswa
pemalu dan suka menyendiri, ketika itu upacara bendera sedang berlangsung,
saatnya guru memanggil satu persatu murid berdasarkan kelas yang akan mereka
tempati sekaligus menjadi anak didiknya dikelas, kebetulan yang membacakan saat
itu giliran bu Indriani. Bu Indriani menurutku adalah guru yang paling baik
se-SMP Pasundan saat itu, selain dari tutur katanya yang sopan dia sangat
mengerti dengan karakter murid-murid yang diajarnya.
“Peri Heriyanto...” tegas bu Indriani
saat menyebutkan namaku ketika mengabsen setiap murid yang diwalikannya, aku
cukup merasa tegang menghampirinya lalu berdiri dengan siswa-siswa lainnya yang
kelak mereka semua akan menjadi teman satu kelasku. Awalnya aku merasa bingung melihat tampang dari murid-murid lainnya yang seolah-olah kurang
bersahabat.
“Nah anak-anak, mari ikut ibu keruangan yang menjadi kelas kita” ujar bu Indriani saat membimbing aku dan murid-murid lainnya untuk memasuki kelas yang diperuntukan bagi kami.
Ternyata arah yang dituju adalah ruangan VII E, saat itulah seluruh anak-anak memasuki ruangan itu secara serentak dan langsung menempati kursi kosong yang ada di ruangan itu.
Aku merasa bingung harus duduk di bangku yang mana, karena saat itu seluruh bangku hampir semuanya terisi oleh murid lain. Tiba-tiba pandanganku langsung mengarah kepada bangku kosong yang berada di pojok ruang kelas, ternyata disamping bangku itu telah duduk seorang siswa yang menurut pandangan pertamaku dia adalah seorang yang culun, dengan bentuk rambut yang bergaya orang tua tahun 80’an, pakaian yang sedikit kusut, tas yang apa adanya membuatku merasa berfikir dua kali untuk menjadi teman sebangku dengannya.
“Nah anak-anak, mari ikut ibu keruangan yang menjadi kelas kita” ujar bu Indriani saat membimbing aku dan murid-murid lainnya untuk memasuki kelas yang diperuntukan bagi kami.
Ternyata arah yang dituju adalah ruangan VII E, saat itulah seluruh anak-anak memasuki ruangan itu secara serentak dan langsung menempati kursi kosong yang ada di ruangan itu.
Aku merasa bingung harus duduk di bangku yang mana, karena saat itu seluruh bangku hampir semuanya terisi oleh murid lain. Tiba-tiba pandanganku langsung mengarah kepada bangku kosong yang berada di pojok ruang kelas, ternyata disamping bangku itu telah duduk seorang siswa yang menurut pandangan pertamaku dia adalah seorang yang culun, dengan bentuk rambut yang bergaya orang tua tahun 80’an, pakaian yang sedikit kusut, tas yang apa adanya membuatku merasa berfikir dua kali untuk menjadi teman sebangku dengannya.
“boleh
saya duduk disini?” ucapku menanyakan perihal bangku kosong yang ada
disampingnya.
“boleh,
silahkan. Gak ada yang menempatinya kok” ujarnya.
Lalu aku duduk di bangku yang ada
disampingnya. Waktu terus berlalu tanpa ada kata-kata diantara kami
berdua, lalu aku terhenyak dari diamku ketika dia melontarkan pertanyaan.
“boleh
kenalan gak, namaku Panji?“ ucapnya sambil menjulurkan tangan disertai
senyum tipis dari wajahnya.
“boleh,
namaku Peri “ dari sanalah aku mengetahui bahwa namanya adalah Panji.
Seiring waktu berlalu aku dan panji makin
akrab di kelas, selain ternyata dia itu pandai bergaul, dia juga memiliki otak
yang pintar, berbeda sekali dari persepsiku ketika bertemu pertama kali
dengannya rasa curiga dan keraguanku padanya sedikit demi sedikit menghilang
dan akhirnya kami menjadi sahabat.
Aku manjalani hariku
sebagai murid kelas VII E bahkan terpilih sebagai ketua murid atau KM
sedangkan panji menjadi wakilnya, saat pelajaran mulai ke arah yang lebih
kompleks dan salah seorang guru mewajibkan seluruh murid untuk membeli LKS
(lembar kerja siswa) sebagai syarat dalam mengerjakan tugas yang diberikannya
kepada anak-anak dikelas. Pada saat itu aku mengetahui sisi lain dari sahabatku Panji, dibalik sosoknya yang pintar, mudah bergaul dan disenangi
anak-anak, dia merupakan siswa yang kurang mampu dalam segi finansial atau
keuangan, sehingga dalam pembayaran LKS nya pun tersendat-sendat.
Setelah aku mengkorek-korek informasi
dari teman-teman se-SD-nya dulu ternyata Panji memang anak yang kurang mampu,
menurut teman-temannya dulu, ayah panji adalah seorang pengemudi becak dan
ibunya hanya berdagang makanan kecil di samping SD-nya dulu.
Sungguh sangat miris hatiku saat
melihat kenyataan ketika aku sengaja pergi ke rumah Panji didampingi oleh temanku
yang bernama Rudi -yang dulunya merupakan teman SD Panji-. Rumahnya adalah sebuah
rumah pangnggung reot dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu serta
disekeliling rumahnya terdapat hamparan tanah merah, tidak ada sedikitpun semen
atau batu yang menutupinya. Pikirku, mungkin disekitar rumah Panji sering
terkena banjir melihat kondisi tanah yang ada dirumahnya dan sebuah sungai
berada tepat disamping rumahnya.
Ketika aku memaksakan diriku untuk
berkunjung kerumahnya, tampak seorang pria paruh baya sedang mengotak-atik
sebuah becak tua di halaman rumah Panji. Lau aku mulai mendekatinya seraya
bertanya,
“Pak, apakah benar ini rumah Panji?”
tanyaku.
“Oh benar, De.. Ade ini temannya Panji?” beliau balik bertanya.
“Iya, Pak “ jawabku dengan lugas.
Setelah itu kami berbincang-bincang di halaman rumah sambil membicarakan keseharian Panji dan
bagaimana prestasinya disekolah. Dari perbincangan itulah baru aku menyadari
bahwa kehidupan yang dialami panji memang cukup keras. Ayahnya hanya seorang
tukang becak dan ibunya membantu perekonomian keluarga dengan cara berjualan
gorengan dan makanan kecil di pinggir sekolah dasar.
Setelah berbincang panjang lebar
dengan ayah Panji akhirnya aku memutuskan untuk pamit dan kembali kerumah
dengan Rudi. Aku berpikir kembali, di zaman modern ini rupanya masih ada kasus
yang seperti Panji alami, aku sangat bersyukur mempunyai teman seperti Panji
karena ditengah keterbatasannya dia masih bisa mengukir prestasi di sekolahnya.
Keesokan harinya aku
menceritakan kejadian kemarin kepada Panji, tampak dari raut wajahnya dia tersipu malu saat mendengar cerita kunjunganku ke rumahnya. Setelah itu
kami berdua berusaha mencari jalan keluar dalam menyelesaikan masalah
pembayaran LKS Panji yang belum lunas. Disaat kami sedang berfikir, tiba-tiba
ide tersebut terlontar dari mulut Rudi yang sejak kemarin menemaniku pergi
berkunjung kerumah Panji.
“Bagaimana
kalau kamu berjualan gorengan di sekolah seperti ibu kamu Ji? Kan lumayan dari
hasil keuntungannya bisa menutupi pembayaran LKS sekolah ?” ujar Rudi.
“Boleh
juga tuh Rud. Tapi apa Panji tidak keberatan?” tuturku.
“Oh,
iya sih, itu ide yang bagus. Nanti aku bicarakan dulu dengan ibuku..” jawab Panji.
Beberapa hari kemudian tampak Panji
membawa sebuah keranjang kecil berisi macam-macam gorengan seperti pastel,
keroket, cireng, gehu, bala-bala, pisang aroma dll. Nampaknya dia sudah
bertekad bulat demi membantu keluarganya agar tidak terbebani dengan biaya
pendidikannya dia berjualan macam-macam gorengan ke kelas-kelas di SMP Pasundan
setiap pagi hari dan sewaktu jam istirahat.
Dagangan Panji sangat laris, biasanya
pada saat jam istirahat selesai, gorengan yang dijajakan Panji pun sudah habis
terjual. Tidak hanya siswa saja yang menjadi pembeli setia Panji, akan tetapi
para gurupun juga sering memebeli gorengan panji. Disamping harganya yang
murah, gorengan yang dijual Panji pun sangat enak. Para guru pun tidak sungkan
menyampaikan pujian kepada panji karena dia begitu gigih dan semangat dalam
meneruskan sekolah. Nampaknya keuntungan dari penjualan gorengan itupun dapat
menutupi tunggakan LKS nya dan selebihnya dia menyerahkan kembali sisa
keuntungannya tersebut kepada ibunya.
Panji pernah mengungkapkan kepadaku
bahwa dia bercita-cita ingin menjadi guru biologi, oleh karena itu pada setiap
menjalankan tugas praktek biologi, dia tampak antusias sekali dalam
melakukannya. Suatu waktu kami mendapat kesempatan sebagai satu kelompok dalam
percobaan pembedahan ikan dan katak dalam rangka meneliti organ dalam amfibi
dan pisces. Pada saat berlangsungnya proses pembedahan, ada satu hal yang
sangat menarik yang sampai saat ini tidak terlupakan dalam ingatan kami, yaitu
ketika kodok tersebut tiba-tiba melompat ke arah muka Panji dengan sendirinya,
hal ini mungkin dikarnakan pembiusan oleh alkohol yang kurang sempurna. Sontak
hal ini membuat kelompok kami kaget dan tertawa terbahak-bahak.
Sisi lain yang saya temukan dari
sahabatku Panji adalah selain dia adalah seorang anak yang berbakti kepada
orang tua dia juga anak yang ramah pada tetangga. Para warga yang ada
dirumahnya sangat senang kepadanya karena keuletan dan sikap rajin yang
dimiliki oleh panji. Terkadang ada warga yang meminta jasa panji untuk
mengembalakan ternak kambingnya dan menyuruh untuk merawatnya, nantinya apabila
kambing tersebut terjual atau mempunyai anak, keuntungannya akan dibagi dua
dengan Panji.
Kegiatan menggembala kambing sering
dilakukannya ketika pulang sekolah. Tidak seperti anak-anak seusia panji
lainnya yang menghabiskan waktu sepulang sekolahnya diisi dengan bermain dan
menghamburkan uang. Lain halnya dengan panji, dia malah membantu warga
menggembalakan ternaknya dan sesekali dia membuka-buka buku pelajaran untuk
mengulang pelajaran yang telah diberikan guru disekola atau sambil mengerjakan
PR. Hal ini dilakukannya untuk mencari biaya tambahan untuk sekolahnya.
Panji merupakan anak sulung dari dua
bersaudara, adiknya bernama Siti yang pada waktu itu berumur 7 tahun. Siti
duduk dibangku kelas 2 SD. Seperti halnya kakaknya dalam hal sekolah Siti harus
berjuang keras dalam memperjuangkan pendidikan. Kondisi sekolah siti saat itu
sangat jauh dengan rumahnya, hal ini mengharuskan panji mengatntarkan siti
pergi sekolah dengan menggunakan sepeda sehingga terkadang panji datang terlambat
ketika masuk sekolah.
Ketika kami duduk di kelas 2 SMP kami
sering berkumpul bersama di warung bu Rini, disana kami membentuk sebuah grup
yang sama-sama menyukai olah raga bola voli. Grup ini terdiri dari aku, Panji, Dian, Yana, Yadi, dan Dedi. Masing masing mempunyai karakter dan sifat yang
berbeda. Aku orangnya kalem dan menjadi penyeimbang dan penengah bila terjadi
perselisihan diantara kami, panji orangnya jujur, sopan santun, ramah, dan
setia kepada kawannya. Dian adalah anggota yang paling kecil diantara kami
berlima akan tetapi dia orangnya bersifat humoris dan menjadi penghibur di saat
kita berkumpul bersama, Yana dan Yadi adalah anak kembar kakak-beradik yang bisa
dibilang anggota paling kaya diantara kami. Sedangkan dedi merupakan pemimpin kami,
selain dia mempunyai tampang yang cukup tampan dia memiliki sikfat bijaksana
dan berwibawa.
Kami berenam merupakan squad inti tim
bola voli kelas kami, saat itu sedang berlangsung kegiatan PORAK (Pekan Olah
Raga Antar Kelas) yang dintaranya mempertandingkan olah raga bola voli yang
diikuti oleh setiap kelas dari mulai kelas VII sampai kelas IX. Setelah
berjuang dengan keras akhirnya kami bisa meraih tropi juara hal ini dikarenakan
berbagai karakter yang ada dalam diri kami sangat mendukung terciptanya tim
yang solid.
Banyak intrik dan masalah yang
menyelimuti kami pada saat pertandingan berlangsung, seperti rusaknya sepatu Panji akibat ketidak mampuannya membeli sepatu baru, kesombongan yana dan yadi
dikarenakan tabiatnya yang memang orang kaya, ketidak seriusan dian karena
terlalu banyak bercanda, aku yang terlalu nyantai dan menganggap sepele sesuatu
dan dedi yang bersikap otoriter dalam memimpin. Akan tetapi hal itu bukan
menjadi masalah yang berarti bagi kami asalkan kami selalu kompak, bekerjasama dan
menghilangkan sikap egois yang ada dalam diri kami.
Kesetiakawanan dan saling pengertian
merupakan hal yang mutlak ada dalam kelompok kami dan semua yang pernah kami
jalani sangat berpengaruh pada kehidupan kami saat ini dan menjadi pelajaran
yang berharga. Hal ini bisa dilihat dari sosok panji yang dulunya adalah anak
kampung yang serba kekurangan dalam hal ekonomi mampu bangkit dan memperoleh
beasiswa baik di SMP, SMA sampai tingkat perguruan tinggi.
Sekarang Panji sedang menempuh
pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Biologi dan
meraih beasiswa sampai lulus.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar